Suara.com - Kasus kematian anak akibat gagal ginjal yang diduga karena cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) pada obat sirup anak mendorong legislator daerah mendesak DPR RI dan pemerintah pusat untuk segera mengesahkan RUU POM yang sempat tertunda. Menurut Ketua DPRD Kota Bogor, Atang Trisnanto, pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan menjadi sesuatu yang sangat krusial karena menyangkut kesehatan dan keselamatan jiwa.
“Kami di daerah berharap adanya intervensi pemerintah untuk memastikan obat maupun makanan yang beredar di tengah masyarakat memenuhi status aman, sehat, utuh, dan halal,” tuturnya dalam siaran pers yang diterima Suara.com, Jumat (2/12/2022).
Atang mengatakan bahwa kasus ini dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama adalah tentang pengawasan yang kurang optimal dari instansi terkait yang menurutnya bukan hanya BPOM saja, tapi juga Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Perdagangan sebagai penanggungjawab langsung terhadap impor bahan baku obat serta penjamin mutu keamanan.
“Kedua, saya melihat adanya kesenjangan dalam mengawasi pelaku industri farmasi yang nakal. Pengawasan terhadap industri farmasi harus dilakukan secara kontinu dan tanpa pandang bulu. Dalam konteks obat, berlaku zero fault, tidak boleh ada kesalahan sedikit karena akibatnya akan fatal. Terakhir adalah terkait kewenangan BPOM. RUU POM saat ini masih belum menjadi prioritas, terbukti masih belum masuk Prolegnas. Padahal, isu keamanan obat merupakan isu yang terkait langsung dengan keselamatan dan kesehatan masyarakat,” paparnya.
Baca Juga: Minta Pemda Tak Persulit Investor, Mendagri Tito: Slogan Lama Harus Dibalik
Belum masuknya RUU POM sebagai prolegnas mengindikasikan bahwa obat dan makanan bukan sebagai prioritas masalah masyarakat. Untuk itu, pembahasan RUU POM ini penting untuk segera dilakukan.
“Kami di daerah juga kesulitan apabila ada keinginan untuk melakukan proteksi terhadap ancaman peredaran obat dan makanan yang membahayakan melalui kebijakan khas lokal lewat penyusunan Perda, namun UU sebagai payung hukumnya belum ada,” ungkap Atang.
Ke depan perlu dikuatkan kelembagaan yang bisa melakukan pengawasan sekaligus juga penindakan. Saat ini BPOM bertindak sebagai pengawas peredaran obat dan makanan, namun kewenangannya terbatas.
“Lembaga tersebut ke depan harus diberi ruang kewenangan untuk mengakses bahan-bahan baku atau kandungan bahan baku yang diimpor oleh importir melalui Kementerian Perdagangan. Bahan baku berbahaya tidak boleh sama sekali digunakan untuk industri farmasi maupun industri makanan. Selain itu, lembaga ini juga (perlu) diberikan kewenangan penindakan. Karena, pengawasan tanpa kewenangan penindakan tidak akan efektif seperti yang selama ini terjadi,” terang Atang.
Senada dengan itu, anggota DPRD Kota Batam, Rohaizat mengatakan bahwa kasus ini sudah menjadi isu nasional dan harus menjadi perhatian para pemegang kebijakan baik di pusat maupun daerah. Baru-baru ini BPOM Batam juga menarik 81.000 obat sirup yang mengandung cemaran tersebut dari setiap apotek dan toko obat yang ada di kota ini.
Baca Juga: Diajukan Rp500 Miliar, DPRD DKI Jakarta Pangkas PMD untuk MRT Akuisisi KCI Jadi Rp100 Miliar
“Kami di Batam memandang bahwa kasus ini merupakan fenomena gunung es. Peristiwa ini menunjukkan betapa BPOM masih minim otoritas dalam melakukan pengawasan obat dan makanan. Contohnya adalah masuknya bahan khusus seperti EG dan DE ke Indonesia tanpa melalui pengawasan BPOM karena dianggap bahan ini diperuntukkan juga oleh industri-industri lain," ucapnya.
Anggota Komisi III DPRD Kota Batam tersebut pun mendesak pemerintah pusat dan DPR RI untuk serius menggolkan RUU POM, karena semakin lama dibiarkan kasus-kasus model seperti ini akan terjadi lagi.
“BPOM harus diberikan otoritas yang lebih luas Sebagai pengawas dan regulator, harusnya BPOM juga diberi wewenang untuk melakukan penindakan hukum atas distributor dan pelaku industri farmasi yang nakal,” imbuh Rohaizat.
Selain itu, tambahnya, BPOM juga perlu diberi wewenang dalam melakukan pengawasan terhadap jual beli obat secara online. Menurutnya, masyarakat saat ini dengan mudah mendapatkan obat dari luar negeri, padahal obat-obat tersebut tidak memiliki izin edar dan belum melalui proses pengujian laboratorium.